BENTUK-BENTUK PRAGMATIK 1

Bentuk-Bentuk Pragmatik

 

A.    Tindak Tutur

1.      Pengertian Tindak Tutur

Tindak tutur adalah salah satu analisis pragmatik yang mengkaji bahasa dengan aspek pemakaian aktualnya. Tindak tutur pertama kali dikenalkan oleh Austin pada tahun 1965, yang merupakan teori yang dihasilkan dari studinya. Kemudian teori ini dikembangkan oleh Searle (1969) dengan menerbitkan sebuah buku Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan sekadar lambang, kata atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata atau kalimat yang  berwujud perilaku tindak tutur (the performance of speech acts).

 

Leech (1994: 4) menyatakan bahwa sebenarnya dalam tindak tutur mempertimbangkan lima aspek situasi tutur yang mencakup: penutur dan mitra tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tindak tutur sebagai sebuah tindakan/aktivitas dan tuturan sebagai produk tindak verbal.

 

A. Chaer (dalam Rohmadi, 2004) menyatakan bahwa tindak tutur merupakan gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungan ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya.

 

Suwito dalam bukunya Sosiolinguistik: Teori dan Problem mengemukakan jika peristiwa tutur (speech event) merupakan gejala sosial dan terdapat interaksi antara penutur dalam situasi dan tempat tertentu, maka tindak tutur lebih cenderung sebagai gejala individual, bersifat psikologis dan ditentukanm oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu.

 

Dari beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan suatu ujaran yang mengandung tindakan sebagai suatu fungsional dalam komunikasi yang mempertimbangkan aspek situasi tutur.

 

2.      Jenis-Jenis Tindak Tutur

Austin (1962:1-11) membedakan tuturan yang kalimatnya bermodus deklaratif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif. Tindak tutur konstatif adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji –benar atau salah—dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia. Misalnya seseorang mengatakan “Jakarta ibu kota Indonesia”. Sedangkan tindak tutur performatif adalah tindak tutur yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu, pemakai bahasa tidak dapat mengatakan bahwa tuturan itu salah atau benar, tetapi sahih atau tidak. Contoh: Penghulu yang mengatakan “Saya nyatakan kalian sah sebagai suami istri”.

 

Berkenaan dengan tuturan, Austin membedakan tiga macam tindakan :

  • Tindak tutur lokusi, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam kamus dan menurut kaidah sintaksisnya.

Contoh: Ani: “Ibu sedang memasak di dapur”

Kalimat tersebut memiliki informasi bahwa ibu dari si Ani sedang memasak di dapur.

  • Tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang mengandung maksud; berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak tutur itu dilakukan,dan lain sebagainya. Tindak tutur ilokusi berkaitan dengan beberapa fungsi dalam pikiran pembicara.

Contoh: Ayah: “Ujian sudah dekat”

Jika sang Ayah bicara pada anaknya, maka yang timbul di pikiran anak mungkin saja bisa berupa teguran dari sang Ayah agar dia lebih rajin belajar karena ujian sudah dekat.

  • Tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur. Tindak tutur perlokusi memiliki akibat tuturan (hal yg dilakukan pendengar akibat ilokusi). Tindak tutur perlokusi terjadi bila lawan tutur melakukan sesuatu setelah adanya lokusi dan ilokusi. Dari contoh 2 maka perlokusinya adalah anak belajar dengan rajin karena ujian sudah dekat.

 

4 Jenis Tindak Tutur

  1. Tindak Tutur Langsung: Tindak tutur yang sesuai dengan fungsi kalimat yang membentuknya (kalimat berita, tanya dan perintah). Contoh: – Seorang Dokter berkata kepada pasiennya: “Buka mulutnya!”
  2.  Tindak Tutur Tak Langsung: Tindak tutur yang tidak sesuai dengan fungsi kalimat yang membentuknya.

 Contoh: Andi: “Bu, mau bikin kopi, tidak ada gulanya”

                     Ibu: “Ini uangnya. Beli sana”

  • Tindak Tutur Literal: Tindak tutur yang memiliki maksud yang sama dengan kata-kata yang menyusunnya.

Contoh: Ayah: “Nilai raportmu bagus, ya!”

Tindak tutur yang disampaikan seorang ayah kepada anaknya, ketika melihat nilai raport yang diperolehnya bagus.

 

  • Tindak Tutur Non-Literal: Tindak tutur yang memiliki maksud yang berlawanan dengan kata-kata yang menyusunnya.

Contoh: Dosen: “Bagus, berisik aja terus!”

Tindak tutur bernada ironis yang disampaikan oleh seorang dosen ketika mahasiswanya berisik. Bukan berarti dia memuji mahasiswa, akantetapi menyuruh mereka untuk tidak berisik.

            Searle menggolongkan tindak tutur menjadi lima jenis, yaitu:

  • Representatif

Representatif merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya. Tindak tutur jenis ini juga disebut dengan tindak tutur asertif. Yang termasuk tindak tutur jenis ini adalah tuturan menyatakan, menuntut, mengakui, menunjukkan, melaporkan, memberikan kesaksian, menyebutkan, berspekulasi. Contoh: “Bapak Gubernur meresmikan gedung baru ini”.

  • Direktif

Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan sesuai apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Tindak tutur direktif disebut juga dengan tindak tutur impositif. Yang termasuk ke dalam tindak tutur jenis ini antara lain tuturan meminta, mengajak, memaksa, menyarankan, mendesak, menyuruh, menagih, memerintah, mendesak, memohon, menantang, memberi aba-aba. Contohnya adalah “Bantu aku memperbaiki tugas ini”. Contoh tersebut termasuk ke dalam tindak tutur jenis direktif sebab tuturan itu dituturkan dimaksudkan penuturnya agar melakukan tindakan yang sesuai yang disebutkan dalam tuturannya yakni membantu memperbaiki tugas. Indikator dari tuturan direktif adalah adanya suatu tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur setelah mendengar tuturan tersebut.

  • Ekspresif

Tindak tutur ini disebut juga dengan tindak tutur evaluatif. Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu, meliputi tuturan mengucapkan terima kasih, mengeluh, mengucapkan selamat, menyanjung, memuji, meyalahkan, dan mengkritik. Tuturan “Sudah kerja keras mencari uang, tetap saja hasilnya tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga”.

  • Komisif

Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam ujarannya, misalnya bersumpah, berjanji, mengancam, menyatakan kesanggupan, berkaul. Contoh tindak tutur komisif kesanggupan adalah “Saya sanggup melaksanakan amanah ini dengan baik”. Tuturan itu mengikat penuturnya  untuk melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Hal ini membawa konsekuensi bagi dirinya untuk memenuhi apa yang telah dituturkannya.

  • Deklarasi

Tindak tutur deklarasi merupakan tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya utuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Tindak tutur ini disebut juga dengan istilah isbati. Yang termasuk ke dalam jenis tuutran ini adalah tuturan dengan maksud mengesankan, memutuskan, membatalkan, melarang, mengabulkan, mengizinkan, menggolongkan, mengangkat, mengampuni, memaafkan. Tindak tutur deklarasi dapat dilihat dari contoh berikut ini.

  1. “Ibu tidak jadi membelikan adik mainan.” (membatalkan)
  2. “Bapak memaafkan kesalahanmu.” (memaafkan)
  3. “Saya memutuskan untuk mengajar di SMA almamater saya.” (memutuskan).

 

B.     Implikatur

Implikatur mengacu kepada jenis “kesepakatan bersama”antara penutur dan lawan tuturnya, kesepakatan dalam pemahaman, bahwa yang dibicarakan harus saling berhubungan. Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak terdapat pada masing-masing ujaran. Artinya,makna keterkaitan itu tidak diungkapkan secara harafiah pada ujaran itu.  Didalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud tertentu yang tidak dituturkan bersifat tidak mutlak.

 

Jenis Implikatur

  • Implikatur konvensional adalah implikatur yang diperoleh langsung dari makna kata, bukan dari prinsip percakapan. Tuturan berikut ini mengandung implikatur konvensional. Contoh:
  1. Lia orang Tegal, karena itu kalau bicara ceplas-ceplos.
  2. Poltak orang Batak, jadi raut mukanya terkesan galak.
  3. Implikatur nonkonvensional atau implikatur percakapan adalah implikasi pragmatik yang tersirat di dalam suatu percakapan.  Di dalam komunikasi, tuturan selalu menyajikan suatu fungsi pragmatik dan di dalam tuturan percakapan itulah terimplikasi suatu maksud atau tersirat fungsi pragmatik lain yang dinamakan implikatur percakapan.

Contoh:

Seorang kakak mengatakan pada adiknya yang sedang menangis: “Bapak datang. Jangan menangis lagi!”

Pernyataan tersebut bukan berarti seorang bapak yang datang dari suatu tempat, tapi kebiasaan Si Bapak yang marah jika melihat anaknya menangis, sehingga kakak menyuruh adiknya untuk tidak menangis lagi.

A: “Jam berapa ini?”

B: “tenang saja, gerbang sekolah ditutup sepuluh menit lagi”

 

C.    Deiksis

Menurut Cahyono (1995: 217), deiksis adalah suatu cara untuk mengacu ke hakekat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan.

 

Agustina (dalam http://yusrizalfirzal.wordpress.com/2011/03/11/deiksis/) menyatakan bahwa deiksis adalah kata atau frasa yang menunjuk kepada kata, frasa, atau ungkapan yang telah dipakai atau yang akan diberikan.

 

Dalam kajian pragmatik, deiksis dapat dibagi menjadi jenis-jenis sebagai berikut:

Deiksis Orang

Deiksis orang adalah pemberian rujukan kepada orang atau pemeran serta dalam peristiwa berbahasa Dalam kategori deiksis orang, yang menjadi kriteria adalah peran pemeran serta dalam peristiwa berbahasa tersebut. Bahasa Indonesia mengenal pembagian kata ganti orang menjadi tiga yaitu, kata ganti orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga.

 

Contoh: “Saya dan Ani makan di tempat yang kami sukai”

‘kami’ merujuk pada ‘saya dan Ani’

 

Dieksis Tempat

Dieksis tempat adalah pemberian bentuk kepada lokasi ruang atau tempat yang dipandang dari lokasi pemeran serta dalam peristiwa berbahasa itu Dalam berbahasa, orang akan membedakan antara di sini, di situ dan di sana. Hal ini dikarenakan di sini lokasinya dekat dengan si pembicara, di situ lokasinya tidak dekat pembicara, sedangkan di sana lokasinya tidak dekat dari si pembicara dan tidak pula dekat dari pendengar.

Contoh: Duduklah bersamaku  di sini.

 

Deiksis Waktu

Deiksis waktu adalah pengungkapan atau pemberian bentuk kepada titik atau jarak waktu yang dipandang dari waktu sesuatu ungkapan dibuat. Contoh deiksis waktu adalah kemarin, lusa, besok, bulan ini, minggu ini, atau pada suatu hari.

Contoh:

  1. Gaji bulan ini tidak seberapa yang diterimanya.
  2. Saya tidak dapat menolong Anda sekarang ini.

 

Deiksis Wacana

Deiksis wacana adalah rujukan kepada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau yang sedang dikembangkan. Deiksis wacana ditunjukkan oleh anafora dan katafora. Sebuah rujukan dikatakan bersifat anafora apabila perujukan atau penggantinya merujuk kepada hal yang sudah disebutkan.

Contoh kalimat yang bersifat anafora: Mobil keluaran terbaru itu harganya sangat mahal. Kata ‘itu’ merujuk pada ‘mobil’ yang telah disebutkan sebelumnya, sehingga berupa dieksis anafora.

 

Sebuah rujukan atau referen dikatakan bersifat katafora jika rujukannya menunjuk kepada hal yang akan disebutkan. Contoh kalimat yang bersifat katafora dapat dilihat dalam kalimat berikut.

  1. Di sini, digubuk tua ini mayat itu ditemukan.
  2. Setelah dia masuk, langsung Toni memeluk adiknya.

 

Deiksis Sosial

Deiksis sosial adalah mengungkapkan atau menunjukkan perbedaan ciri sosial antara pembicara dan lawan bicara atau penulis dan pembaca dengan topik atau rujukan yang dimaksud dalam pembicaraan itu. Contoh deiksis sosial misalnya penggunaan kata mati, meninggal, wafat dan mangkat untuk menyatakan keadaan meninggal dunia. Masing-masing kata tersebut berbeda pemakaiannya. Begitu juga penggantian kata pelacur dengan tunasusila, kata gelandangan dengan tunawisma, yang kesemuanya dalam tata bahasa disebut eufemisme (pemakaian kata halus). Selain itu, deiksis sosial juga ditunjukkan oleh sistem honorifiks (sopan santun berbahasa). Misalnya penyebutan pronomina persona (kata ganti orang), seperti kau, kamu, dia, dan mereka, serta penggunaan sistem sapaan dan penggunaan gelar. Contoh pemakaian deiksis sosial adalah pada kalimat berikut.

  1. Apakah saya bisa menemui Bapak hari ini?
  2. Saya harap Pak Haji berkenan memenuhi undangan saya.

 

Sumber:

Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Penerbit Angkasa.

 

2 pemikiran pada “BENTUK-BENTUK PRAGMATIK 1

Tinggalkan Balasan ke Deiksis | Miku Chan Batalkan balasan